Indonesia Community Learning Center

Achmad Subagio 'Anak Singkong' Penemu Tepung Singkong

Rabu, 03 Maret 2010

CALON PRESIDEN BERKATA, 'MENGAPA KITA REPOT-REPOT MEMIKIRKAN SINGKONG? KITA KAN PUNYA UANG, IMPOR SAJA.'

Dr Achmad Subagio MAgr menceritakan pengalaman mendapat cibiran itu dari calon presiden pada pemilihan umum 2004 itu kepada Trubus. Saat itu ia diundang untuk mempresentasikan teknologi produksi mocaf. Usai presentasi tentang mocaf, calon presiden itu berkomentar seperti di atas. Bukan hanya dari calon presiden, cibiran itu juga datang dari beberapa rekan dosen di Universitas Jember, tempat ia mengajar. 'Singkong murah kok diurusi. Untuk apa dosen mengurusi singkong?' hanya beberapa pernyataan miring itu.

Namun, doktor Kimia Pangan itu tak hirau. Ia terus meriset ubikayu menjadi tepung, tetapi tanpa aroma dan rasa singkong. Produk itu kini sohor sebagai modified cassava flour (mocaf). Dosen berusia 40 tahun itu menempuh jalan berliku untuk menghasilkan tepung ubikayu tanpa aroma singkong.
Tak mungkin?

Pada riset itu, mula-mula ia memfermentasi singkong segar. Sayang durasinya sangat lama, 3 pekan. 'Karena fermentasinya spontan, jadi mikroba yang tumbuh tidak jelas,' ujar kelahiran Kediri, Jawa Timur, 17 Mei 1969 itu. Inspirasi datang dari gatot, penganan tradisional yang juga berbahan baku singkong. Dalam proses pembuatannya, gatot pun mengalami fermentasi.

Pada 2005-setelah setahun meriset-Subagio mengisolasi bakteri asam laktat dari penganan yang lazim dinikmati bersama parutan kelapa itu. Sayang, Subagio menolak menyebut spesies bakteri itu. Dengan bakteri asam laktat, proses fermentasi lebih singkat, hanya 8-10 jam (baca: Tepung dari Bawah Tanah, halaman 20). Proses fermentasi bertujuan menutupi aroma dan rasa singkong.

Selain itu fermentasi juga menghancurkan selulosa menjadi tepung bertekstur halus. Menurut Subagio bakteri asam laktat mampu mendegradasi selulosa dan melubangi dinding granula pati. Selulosa harus dipecah karena pati terbungkus selulosa. Jika selulosa tidak dipecah maka hanya dihasilkan tepung gaplek, bukan tepung mocaf.

Salah satu perbedaan antara tepung gaplek dan tepung mocaf adalah pada tingkat viskositas atau kekentalan. Viskositas tepung gaplek sangat rendah. Pada suhu 95oC dengan konsentrasi 2%, viskositas tepung gaplek hanya 45 mPa.S (1 Poise = 100 cP atau centiPoise, 1cP = 1 mPa.S). Bandingkan dengan viskositas tepung mocaf yang mencapai 75 mPa.S dan terigu 65 mPa.S. Jika viskositas rendah, maka tepung tidak lengket ketika diberi air.

Meski bakteri asam laktat mampu memecahkan selulosa singkong, tetapi dinding selulosa masih sedikit menempel pada pati. Dampaknya viskositas tepung mocaf tidak setinggi tepung tapioka. Tapioka hanya terdiri sari pati sehingga sangat kental. Selain memecah selulosa, bakteri asam laktat juga memodifikasi granular pati yang halus menjadi berlubang-lubang.

Lubang-lubang itu memperkuat ikatan antarbutiran sehingga adonan tidak gampang terputus. Dengan karakteristik itu, tepung singkong itu mirip terigu. Dalam pembuatan beragam penganan, mocaf alias modifikasi tepung singkong mampu menggantikan terigu yang masih diimpor.
Fleksibel

Pengolahan umbi Manihot esculenta menjadi tepung tanpa aroma dan rasa singkong itu merupakan penemuan pertama di dunia. Subagio memberi nama temuannya itu mocal, pemendekan dari modified cassava flour. Dalam bahasa Jawa, mokal berarti tak mungkin. 'Tetapi saya berkeyakinan bahwa ini (produksi tepung singkong modifikasi, red) mungkin,' kata dosen Teknologi Pangan itu. Nama mocal kemudian ia ubah menjadi mocaf.

Teknologi hasil temuan Subagio itu kini menyebar ke berbagai daerah seperti Kabupaten Trenggalek di Jawa Timur, Pati (Jawa Tengah), dan Ciamis (Jawa Barat). Temuan itu mengangkat pamor singkong yang selama ini dikenal sebagai komoditas inferior atau komoditas orang miskin. 'Dengan bentuk tepung, rasa, dan aroma yang lebih netral produk ini sangat fleksibel untuk diolah menjadi apa saja,' kata Subagio.

Gagasan mengolah singkong menjadi tepung modifikasi terlintas ketika Subagio mengikuti program jejaring kerja sama antaruniversitas Asia-Eropa di Belanda dan Inggris. Program berlangsung pada 1 April-30 Juni 2004. Ia mengunjungi antara lain Avebe Corp di Kota Veendam, Belanda, yang mengolah kentang menjadi beragam produk seperti penganan, kosmetik, dan bahan pencampur cat.

'Pikiran saya adalah bila Belanda mempunyai kentang, lalu Indonesia apa? Saat itu pula terlintas semua potensi alam Indonesia, mulai singkong, ubijalar, sagu sampai ganyong,' kata alumnus Osaka Prefecture University itu. Di antara potensi komoditas-komoditas itu yang paling mudah dikembangkan menjadi industri adalah singkong.

Usai menemukan teknologi produksi mocaf, Subagio kerap diundang untuk berbicara tentang tepung singkong. 'Sudah 5 tahun ini, hidup saya selalu berkaitan dengan mocaf.' kata Subagio. Ia memang seperti ditakdirkan untuk menggeluti singkong.

Ayahnya adalah pekebun singkong yang juga produsen tapioka dan gethuk lindri, penganan yang terbuat dari singkong. Ketika kecil, Subagio membantu pembuatan gethuk lindri dengan menyeleksi bahan baku. Kini ia berharap mocaf mampu mengatasi masalah pangan dan kemiskinan serta memberikan kesejahteraan masyarakat. (Sardi Duryatmo/Peliput: Nesia Artdiyasa)

Sumber : http://www.trubus-online.co.id

0 komentar:

Posting Komentar

Post

Link Teman

  © Blogger template The Beach by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP